Ketika Nasihat dianggap Celaan
Penulis asal: Al fadhil Ustadz Abu Muhammad
Harits Abrar
Sumber: Majalah Online As Syariah.com
Kategori: Kajian Utama Dirosat
Tranlasi, Edit kecil & Olah
kembali: Bintu Yusof
BismilLAH, alhamdulilLAH,
Semoga ALLAH Ta’ala mengurniakan rahmat-NYA
pada al fadhil ustadz Abu Muhammad atas usaha murninya
berdakwah melalui penulisan ini, juga moga kerahmatan
dilimpahkan para para pembaca budiman. Seterusnya
moga ALLAH terus mengurniakan kejernihan hati,
kemantapan IMAN dan kesungguhan dalam keislahan
mardhotilLAH pada diri saya sepanjang usaha membaca,
mengolah, mengongsi serta menyampaikan nukilan
wadah ilmiyyah dari saudara seaqeedah (Mu’alimun)
kepada saudara seaqeedah yang lain fisabiliHI,
insyaALLAH, amiin.
Mohon panduan ALLAH Ta’ala, moga diri ini terus
terpelihara dalam landasan yang syar’ie. Sebarang
kekurangan, kelemahan hatta kesilap salahan sepanjang
penulisan, mohon maklumi serta perbetulilah al faqiirah
ila ROBBIha ini.
Ba’da tahmid wassalam,
Saudara/ri yang berIMAN.
Al fadhil ustaz menulis yang sebenarnya menyebut-nyebut
seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah
haram; khususnya jika semua itu hanya dilandasi keinginan
untuk mencela, meremehkan atau menjatuhkan seseorang.
Namun, apabila penyebutan tersebut mengandungi manfa’at
atau maslahat yang besar bagi kaum Muslimin amnya atau
pada sebahagian orang yang khusus, maka penyebutan seperti
ini bukanlah sesuatu yang haram, bahkan sangat dianjurkan.
(Al-Farqu Bainan Nashihat wat Ta’yiir, Ibnu Rajab Al-Hanbali
rahimahullah).
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahulLAH ketika
mengomentari uraian Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahulLAH
menegaskan:
“Bahkan hal itu wajib, kerana ALLAH Subhanahu wa Ta'ala
telah mewajibkan untuk memberi keterangan, bukan sekadar
sunnah (anjuran) semata.” (An-Naqdu Manhajus Syar’i).
Sebahagian Muslimin menganggap jarh (kritikan) terhadap
suatu bentuk pemikiran, hasil tulis (buku) atau individu
tertentu serta mentahdzirkannya agar dijauhi dan ditinggalkan
orang adalah perbuatan dzalim, tidak adil dan tidak amanah.
Bersandarkan alasan yang demikian, maka apabila ada
tokoh dari ahli bid’ah yang dibeberkan kebid’ahannya,
kesesatan pemikirannya baik yang diucapkan mahupun
yang ditinta dalan penulisan, mereka menganggap orang
yang menjelaskan kesesatan dan penyimpangan tersebut
sebagai penghujat, zalim, mulutnya kotor dan sebagainya.
Oleh yang demikian, kita perlu mencermati lebih lanjut
pengertian ‘nasihat’ dan perbezaannya dengan ‘ta‘yiir’
(celaan, mencacati).
Pengertian Nasihat
Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahulLAH berkata dalam
Jami’ul ‘Ulum wal Hikam hal. 99 dengan menukil perkataan
Al-Imam Al-Khaththabi rahimahulLAH:
“Nasihat ialah kalimat yang diucapkan kepada seseorang
kerana menginginkan kebaikan baginya.”
RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi wa sallam telah menegaskan
dalam hadits Tamim Ad-Dari radhialLAHu 'anhu, katanya:
“Nabi ShallalLAHu 'alaihi wa sallam bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ قُلْناَ لِمَنْ قاَلَ ِللهِ وَلِكِتاَبِهِ وَلِرَسُوْلِهِ وَلأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama (Islam) ini adalah nasihat (diulangi tiga kali oleh baginda).”
Kami bertanya: “Untuk siapa, wahai RasululLAH?”
Kata baginda: “Untuk ALLAH, Kitab-NYA dan Rasul-NYA
serta para Imam (pemimpin), kaum Muslimin, dan awam mereka.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim serta yang lainnya)
Hadits ini menerangkan bahwa nasihat itu meliputi seluruh
sendi-sendi ajaran Islam, Iman dan Ihsan yang telah
diuraikan oleh RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi wa
sallam dalam hadits Jibril 'alaihissalam (ketika menjawab
pertanyaan Jibril tentang Islam, Iman dan Ihsan serta
tanda-tanda hari kiamat), dan baginda menamakan
semua itu sebagai Ad-Dien (agama).(*rujuk:1)
Nasihat 1: Untuk ALLAH Subahanahu wa Ta’ala
Ia menuntut adanya pelaksanaan secara sempurna
semua kewajiban yang ALLAH Subahanahu wa Ta’ala
bebankan; tingkatan ihsan. Oleh itu, tidaklah sempurna
nasihat untuk ALLAH itu tanpa kesempurnaan pelaksanaan
kewajiban-kewajiban-NYA, lurusnya keyakinan (‘aqidah)
tentang Wahdaniyah (keesaan) ALLAH Subahanahu
wa Ta’ala, dan mengikhlaskan niat dalam beribadah
hanya kepada-NYA.
Nasihat 2: Untuk Kitab-NYA.
Iaitu berIman kepada kitab tersebut, mengamalkan apa
yang terkandung di dalamnya.
Nasihat 3: Untuk Rasul-NYA
Ialah meyakini kenabiannya, mencurahkan segenap ketaatan
dalam menjalankan semua perintahnya dan menjauhi
larangannya.
Nasihat 4 : Untuk Muslimin secara umum
Ertinya membimbing dan mengarahkan kaum Muslimin
kepada kemaslahatan mereka.
Ibnu Rajab rahimahulLAH menerangkan pula bahawa
di antara bentuk-bentuk nasihat tersebut, terutama bagi
kaum Muslimin secara umum ialah menjauhkan gangguan
dan hal-hal yang tidak disukai yang akan menimpa mereka,
menyantuni orang-orang fakir di antara mereka, mengajari
orang-orang yang jahil dari mereka, serta mengembalikan
orang-orang yang menyimpang (sesat) dengan cara lemah
lembut kepada kebenaran. Juga menjalankan amar ma’ruf
nahi munkar terhadap mereka dengan cara yang baik dan
rasa cinta, serta keinginan untuk menghilangkan kerosakan
yang ada pada mereka. (Al-Jami’ hal 101)
Dengan keinginan sedemikian, sebagian salafus shalih
menyatakan:
“Alangkah senangnya aku jika seluruh manusia taat
kepada ALLAH meskipun dagingku dikerat dengan
alat pengerat (garpu atau lainnya).”
Inilah sebetulnya, salah satu bukti pelaksanaan sabda
RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi wa sallam:
لا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ ِلأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ
“Tidaklah sempurna Iman salah seorang dari kalian
sampai dia mencintai untuk saudaranya, apa yang dia
cintai untuk dirinya.”
(Shahih, HR. Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik
radhialLAHu 'anhu)
Sebetulnya, kerana dasar inilah para Imam kaum Muslimin
sejak zaman RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi wa sallam
sampai hari ini berdiri di hadapan umat, menghalau setiap
bahaya kesesatan yang akan menimpa mereka. Alangkah
tepatnya ucapan Al-Imam Ahmad rahimahulLAH ketika
membalas sebuah risalah yang dikirimkan kepada beliau:
“Segala puji hanya bagi ALLAH Subahanahu wa Ta’ala
yang telah menjadikan pada masa kekosongan dari para
Rasul (fatrah) sisa-sisa ahli ilmu.
Mereka mengajak orang-orang yang sesat (agar kembali)
kepada petunjuk dan bersabar atas gangguan yang
ditimpakan kepada mereka. Ahli ilmu itu ‘menghidupkan’
kembali orang-orang yang ‘mati’ dengan Kitab ALLAH
Subahanahu wa Ta’ala (Al Quran).Mencerahkan kembali
mata orang-orang yang buta dengan ALLAH Subahanahu
wa Ta’ala. Betapa banyak korban iblis yang telah
mereka hidupkan.
Betapa banyak orang sesat kebingungan telah mereka bimbing.
Alangkah indah pengaruh mereka pada manusia, (namun)
alangkah buruknya perlakuan manusia terhadap mereka.
Para ulama itu mengikis habis tahrif (penyelewengan)
orang-orang yang melampaui batas dari dalam Kitab ALLAH
Subahanahu wa Ta’ala (Al-Quran), ajaran (bid’ah)
orang-orang sesat dan takwil orang-orang yang jahil yang
telah mengibarkan bendera kebid’ahan, melepaskan
tali-tali fitnah.
Ahli bid’ah itu (sebetulnya) berselisih dalam (memahami
dan mengamalkan) Kitab ALLAH Subahanahu wa Ta’ala
(Al-Quran) sekaligus menentangnya. Namun mereka
bersatu padu untuk meninggalkannya. Mereka berbicara
atas nama ALLAH Subahanahu wa Ta’ala, tentang ALLAH
Subahanahu wa Ta’ala dan tentang Kitab-NYA tanpa
ilmu (syar’i). Dan berbicara dengan hal-hal yang mutasyabih
(*rujuk:2) dari firman ALLAH. Mereka menipu orang-orang
yang bodoh dengan syubhat yang mereka sampaikan.
Kita berlindung kepada ALLAH dari fitnah yang menyesatkan.”
(I’lamul Muwaqqi’in).”
Bahkan kita lihat pula para ulama yang lain tidak meninggalkan
hal ini (kritikan, jarh) dan tidak pula menganggapnya sebagai
hujatan atau kecaman apalagi celaan dari orang-orang yang
membantah ucapan atau pendapat mereka secara ilmiah.
Kecuali jika memang diketahui dia menulis kekeliruan
tersebut dengan ucapan yang keji, dan tidak beradab.
Namun walaupun demikian, yang ditentang hanyalah
kekejian ucapan tersebut, bukan bantahan ilmiah yang
dipaparkannya.
Ibnu Rajab rahimahulLAH menerangkan bahawa hal itu
kerana para ulama sepakat untuk menampakkan kebenaran
ajaran Islam. Sehingga Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahulLAH
mengatakan tentang buku-bukunya sebagaimana dinukil
oleh Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahulLAH:
“Mesti ada di dalam buku-buku ini hal-hal yang
bertentangan (menyelisihi) Al-Quran dan As-Sunnah,
kerana ALLAH Subahanahu wa Ta’ala telah berfirman:
أَفَلاَ يَتَدَبَّرُوْنَ الْقُرْآنَ وَلَوْ كاَنَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللهِ لَوَجَدُوْا فِيْهِ اخْتِلاَفاً كَثِيْرًا
“Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran?
Jika sekiranya Al Quran itu bukan dari sisi ALLAH,
tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak
di dalamnya.” (An-Nisa: 82)
Jadi, semua yang datang bukan dari sisi ALLAH jelas
akan banyak sekali perselisihan di dalamnya. Dan sebaliknya,
Al-Quran yang mulia ini yang turun dari sisi ALLAH
Subahanahu wa Ta’ala, sama sekali tidak ada perselisihan
di dalamnya. (Lihat Tafsir As-Sa’di tentang ayat ini).
Maka, membantah pendapat atau pemikiran yang lemah (keliru),
menjelaskan al-haq yang berbeza dengan pemikiran yang
lemah tadi dengan dalil-dalil syar’i, bukanlah sesuatu
yang dibenci oleh para ulama. Sebaliknya, mereka sangat
menyukai hal demikian. Mereka juga tidak menganggapnya
sebagai ghibah. Bahkan mereka memasukkannya sebagai
bagian dari nasihat untuk ALLAH, Kitab-NYA dan
Rasul-NYA serta para Imam (pemimpin), kaum Muslimin,
dan awam mereka. Para ulama bahkan sangat keras
mengeluarkan bantahan terhadap pendapat-pendapat
yang lemah dari seorang ulama.
Ibnu Rajab rahimahulLAH menukilkan dalam risalahnya
Al-Farqu baina An-Nashihati wat Ta’yiir, adanya ulama
yang membantah pendapat Sa’id bin Al-Musayyab
rahimahulLAH yang membolehkan jatuhnya talak tiga
sekaligus dalam satu akad. Juga terhadap Al-Hasan
(Al-Bashri) rahimahulLAH yang menyatakan tidak
ada ihdad (berkabung, tidak berhias dan keluar rumah
sampai waktu yang ditentukan) bagi seorang wanita
yang ditinggal mati suaminya. Begitu juga ulama
lainnya yang memang disepakati oleh kaum Muslimin
mereka adalah imam-imam pembawa petunjuk.
Sama sekali mereka tidak menyatakan bahwa kritikan
(al-jarh) terhadap pemikiran dan penyimpangan itu
sebagai suatu hujatan atau kecaman terhadap mereka.
Bahkan bukan pula aib.
Alangkah tepatnya perkataan Al-Imam Malik
rahimahulLAH ketika menyatakan:
“Setiap orang boleh diambil dan dibuang pendapatnya,
kecuali pemilik (penghuni) kubur ini –sambil menunjuk
ke arah makam RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi wa sallam –.”
Al-Imam Asy-Syafi’i rahimahulLAH mengatakan:
“Kalau kalian dapati dalam kitabku bertentangan
dengan Sunnah Nabi, maka ambillah Sunnah Nabi
dan tinggalkanlah ucapanku.” (lihat Muqaddimah
Shifat Shalatin Nabi, hal. 50, ed)
Kalimat-kalimat seperti ini menunjukkan betapa
lapang dada para ulama kita untuk menerima kritikan
atau al-jarh terhadap pendapat atau pemikirannya
yang sempat terucap mahupun yang tertulis.
Dan alangkah terbaliknya keadaan mereka dengan
kaum Muslimin yang mengaku-aku bermadzhab
dengan madzhab para imam tersebut tapi bangkit
marah serta kebenciannya, bahkan sesak dadanya
kalau imam-imam tersebut dikritik atau pendapatnya
disalahkan.
Yang lebih parah lagi, sebahagian mereka justeru
menganggap para tokoh mereka adalah manusia-manusia
maksum, bebas dari kesalahan dan aib. Tidak ada cacatnya.
Maka barangsiapa yang mengkritik tokoh-tokohnya,
bererti menodai kemuliaan dan nama baik para imam
tersebut.
Tentang hal ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahulLAH pernah mengalaminya. Ketika seorang
ahli nahwu di masanya berdialog dengannya kemudian
dibantah oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahulLAH.
Ternyata tokoh tersebut (Abu Hayyan) menukil perkataan
Al-Imam Sibawaih untuk mendukung pendapatnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kemudian berkata
kepadanya (Abu Hayyan):
“Apakah Sibawaih itu nabinya nahwu sehingga harus
ma’shum (bersih, terjaga dari aib dan kesalahan)?
Sibawaih keliru tentang Al Quran dalam 40 tempat yang
tidak kamu fahami, juga dia.” (Lihat Ar-Radd Al-Wafir hal 65)
Lebih lanjut lagi beliau rahimahulLAH menerangkan:
“Jika nasihat itu adalah suatu hal yang wajib untuk
kemaslahatan diniah (urusan agama) secara umum
mahupun khusus, seperti (menerangkan keadaaan)
para rawi yang salah atau dusta, sebagaimana kata
Yahya bin Sa’id Al-Qaththan:
‘Saya bertanya kepada (Al-Imam) Malik, Ats-Tsauri,
Al-Laits bin Sa’d –saya kira juga– Al-Auza’i rahimahumulLAH,
tentang rawi yang tertuduh berkaitan dengan sebuah hadits,
atau tidak menghafalnya, (bagaimana tentang orang tersebut)?’
Kata mereka: ‘Terangkan keadaannya!’”
Sebahagian ulama berkata kepada Al-Imam Ahmad bin
Hanbal rahimahulLAH:
“Berat bagi saya untuk mengatakan si Fulan demikian,
Si Anu demikian.” (*rujuk:3).
Maka Al-Imam Ahmad mengatakan:
“Kalau engkau diam dan saya juga diam (tidak menerangkan
keadaannya), sampai bilakah orang yang jahil (tidak berilmu)
akan tahu mana hadits yang sahih dan mana yang cacat?”
(*rujuk:4)
Juga seperti tokoh-tokoh ahli bid’ah, dengan pelbagai
pernyataan yang bertentangan dengan Al-Quran dan
As-Sunnah, atau ahli ibadah yang mengamalkan sesuatu
yang menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah. Maka
menerangkan keadaan mereka dan memberikan
peringatan agar kaum Muslimin menjauhi mereka
(apalagi pemikiran mereka) adalah wajib menurut
kesepakatan kaum Muslimin. Sampai ditanyakan
kepada Al-Imam Ahmad bin Hanbal rahimahulLAH:
“Seseorang berpuasa, shalat dan i’tikaf, itu lebih anda
sukai atau orang yang berbicara menjelaskan kesesatan
ahli bid’ah?”
Al-Imam Ahmad rahimahulLAH mengatakan:
“Jika dia menegakkan shalat, i’tikaf (dan ibadah lainnya),
maka itu (pahala, dan kemaslahatannya) hanya untuk dirinya
sendiri. Sedangkan kalau dia berbicara (menjelaskan kesesatan
ahli bid’ah) maka itu adalah untuk kepentingan kaum Muslimin,
maka ini lebih utama.”
Maka jelaslah bahwa manfaatnya lebih merata bagi kaum
Muslimin dan kedudukannya sama seperti jihad fi sabililLAH.
Ini adalah kerana membersihkan jalan ALLAH dan agama-NYA,
manhaj serta syaru’at-NYA serta menghalau kejahatan
dan permusuhan mereka adalah wajib kifayah menurut
kesepakatan kaum muslimin...” (*rujuk:5)
Hal-hal yang diuraikan ini sama sekali tidak bertentangan
dengan sabda Nabi ShallalLAHu 'alaihi wa sallam:
أَتَدْرُوْنَ ماَ الْغِيْبَةُ؟ قَالُوْا: اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَعْلَمُ. قاَلَ: ذِكْرُكَ أَخاَكَ بِماَ يَكْرَهُ
عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قاَلَ:
Dari Abi Hurairah, bahwasanya RasululLAH ShallalLAHu
'alaihi wa sallam bersabda:
“Tahukah kamu apakah ghibah itu?”
Mereka (para shahabat) menjawab:
“ALLAH dan Rasul-NYA lebih tahu.”
RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Kamu menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu
yang tidak disukainya.”
(HR. Muslim)
Seorang mukmin jika dia jujur dalam keImanannya,
maka dia tidak akan benci kalau anda mengatakan
kebenaran yang (jelas) dicintai oleh ALLAH dan
Rasul-NYA, meskipun hal itu memberatkannya...
Namun apabila dia tidak suka dengan kebenaran
tersebut, bererti Imannya tidak sempurna, dan persaudaraan
itupun berkurang senilai dengan kurangnya Iman pada
diri ‘saudara’ tersebut. Dan ALLAH Subhanahu wa
Ta'ala berfirman:
وَاللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَقُّ أَنْ يُرْضُوْهُ
“Padahal ALLAH dan Rasul-NYA itulah yang lebih patut
mereka cari keridhaannya..” (At-Taubah: 62)
Maka jelaslah, bahawa menerangkan kepada kaum
Muslimin pelbagai kesesatan bid’ah dan ahli bid’ah
merupakan salah satu bentuk nasihat untuk kaum
Muslimin secara umum. Bahkan termasuk amar
ma’ruf nahi munkar. Bukan ghibah atau ta’yiir
(celaan) yang diharamkan.
Sudah masyhur dalam buku-buku yang membahas
tentang As-Sunnah atau aqidah, melalui uraian-uraian
para ulama sejak dahulu hingga saat ini bahawasanya
tidak berlaku (hukum) ghibah bagi ahli bid’ah.
Di mana mereka memaksudkan adanya pembolehan
membicarakan dan membeberkan aib atau cacat,
kejelekan, ataupun kesesatan ahli bid’ah. (*rujuk:6).
Dan dalil yang menerangkan hal ini cukup banyak.
Namun dapat disimpulkan bahwa semuanya terbagi dua:
Yang pertama bersifat umum;
berada di bawah keumuman dalil perintah melakukan
amar ma’ruf nahi munkar yang ada dalam Al-Quran
dan As-Sunnah, sebagaimana telah kita kemukakan
pada pembahasan sebelumnya (pada artikel Hakekat
Jarh wat Ta’dil).
Al-Imam An-Nawawi rahimahulLAH menerangkan:
“Wajibnya melakukan amar ma’ruf nahi munkar, telah
ditegaskan berdasarkan Al-Quran, As-Sunnah dan ijma’
umat ini. Bahkan amar ma’ruf nahi munkar ini adalah
nasihat yang termasuk ajaran (agama) Islam. (*rujuk:7)
Dan termasuk dalam rangkaian amar ma’ruf nahi munkar
ini ialah mengajak manusia untuk kembali kepada
Sunnah RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi wa sallam
dan menerapkannya dalam kehidupan sekaligus
men-tahdzir dari bid’ah dan ahli bid’ah.
Adapun dalil khusus yang terkait dalam masalah ini;
bolehnya mengecam, mengkritik, dan membeberkan
kesesatan ahli bid’ah, di antaranya ialah firman ALLAH
Subhanahu wa Ta'ala:
لاَ يُحِبُّ اللهُ الْجَهْرَ بِالسُّوْءِ مِنَ الْقَوْلِ إِلاَّ مَنْ ظُلِمَ
“ALLAH tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan)
dengan terang kecuali oleh orang yang dianiaya.”
(An-Nisa: 148)
Ayat ini meskipun berkaitan dengan hak tamu yang
dilanggar (tidak dipenuhi) oleh tuan rumah, sehingga
boleh bagi tamu untuk menyebutkan kejelekan tuan
rumah dalam hal ini, lebih-lebih berlaku pula terhadap
orang-orang yang menyebarkan kebid’ahan. (*rujuk:8).
Adapun di dalam As-Sunnah, banyak pula disebutkan
hadits-hadits yang menunjukkan bahwa Nabi ShallalLAHu
'alaihi wa sallam mencela orang-orang yang melakukan
kerosakan, sebagai peringatan agar manusia menjauhinya.
Di antaranya ialah hadits ‘Aisyah radhialLAHu 'anha:
: سْتَأْذَنَ رَجُلٌ عَلَى رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقاَلَ: ائْذَنُوْا لَهُ بِئْسَ أَخُو
أَنَّ عاَئِشَةَ رَضِي اللهُ عَنْهاَ أَخْبَرَتْهُ قاَلَتْ
سُوْلَ اللهِ قُلْتَ الَّذِي قُلْتَ ثُمَّ أَلَنْتَ لَهُ الْكَلاَمَ؟ قَالَ: أَيْ عاَئِشَةُ،
الْعَشِيْرَةِ أَوِ ابْنُ الْعَشِيْرَةِ فَلَمَّا دَخَلَ أَلاَنَ لَهُ الْكَلاَمَ. قُلْتُ: ياَ رَ
إِنَّ شَرَّ النَّاسِ مَنْ تَرَكَهُ النَّاسُ أَوْ وَدَعَهُ النَّاسُ اتِّقاَءَ فُحْشِهِ
‘Aisyah radhialLAHu 'anha mengatakan: Ada seseorang
minta izin menemui RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi
wa sallam, lalu beliau berkata: “Izinkan dia! Seburuk-buruk
saudara (putera) dalam kabilahnya.”
Ketika dia masuk, baginda melunakkan pembicaraannya
terhadap orang tersebut. Saya (‘Aisyah) berkata:
“Wahai RasululLAH, anda mengatakan sebelumnya
demikian (tentang dia), kemudian anda melunakkan
pembicaraan terhadapnya?”
Baginda berkata: “Hai ‘Aisyah, sesungguhnya sejahat
-jahat manusia ialah orang yang ditinggalkan oleh orang
lain atau dibiarkan kerana takut kekejiannya.”
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Al-Imam An-Nawawi rahimahulLAH menerangkan
pengertian hadits ini:
“Di dalam hadits ini terdapat dalil bolehnya melakukan
mudaaraah (*rujuk:9), terhadap orang yang dikhawatirkan
kekejiannya dan bolehnya meng-ghibah orang fasik
yang terang-terangan melakukan kefasikan (kejahatan)-nya
dan orang-orang yang memang perlu kaum Muslimin
jauhi.” (*rujuk:10)
Juga hadits Fathimah binti Qais radhialLAHu 'anha,
ketika dia meminta nasihat kepada Nabi ShallalLAHu
'alaihi wa sallam dengan siapa dia sebaiknya menikah
saat dilamar oleh Abu Jahm dan Mu’awiyah bin Abi Sufyan,
maka RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi wa sallam bersabda:
مَّا مُعاَوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لاَ ماَلَ لَهُ انْكِحِي أُساَمَةَ بْنَ زَيْدٍ
أَمَّا أَبُوْ جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصاَهُ عَنْ عاَتِقِهِ وَأَ
“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan
tongkatnya (suka memukul) dari pundaknya. Adapun
Mu’awiyah, dia miskin tidak punya harta. Menikahlah
dengan Usamah bin Zaid.”
(Shahih, HR. Muslim dan lainnya)
Bolehnya menjarh (meng-ghibah) ahli bid’ah tersirat
dalam hadits ini. Kalau di sini diungkapkan bolehnya
menyebut-nyebut kekurangan seseorang (dalam hal
ini kedua sahabat) demi kepentingan urusan duniawi
secara khusus, sebagai nasihat buat shahabiah tersebut,
maka tentunya lebih jelas lagi bolehnya menyebutkan
kekurangan bahkan kesesatan ahli bid’ah demi
kemaslahatan kaum muslimin secara umum.(*rujuk:11)
Di samping itu, tidak pula ada keharusan untuk
menyebutkan kebaikan mereka ketika membantah dan
menerangkan adanya kesesatan nyata pada pemikiran
atau pendapat mereka.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz rahimahulLAH,
mengatakan RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi wa sallam
ketika ditanya tentang masalah ini mengatakan bahawa
hal itu bukan satu keharusan. Para ulama menerangkan
hal ini dalam buku-buku mereka adalah untuk memperingatkan
dari kesesatan ahli bid’ah... kebaikan mereka tidak ada
ertinya dibandingkan dengan kekafiran, jika bid’ahnya
itu sampai kepada kekafiran, gugur sudah kebaikannya.
Adapun kalau bid’ahnya belum sampai pada tingkat kufur,
maka dia dalam keadaan bahaya... (*rujuk:12)
Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi hafizhahulLAH mengatakan:
“ALLAH Subhanahu wa Ta'ala telah mengisahkan kepada
kita bagaimana sikap orang-orang kafir yang mendustakan
para Rasul ALLAH Allah 'alaihimussalam yang datang
kepada mereka ALLAH Subhanahu wa Ta'ala terangkan
kekafiran, pendustaan dan penghinaan mereka terhadap
para Rasul tersebut, kemudian bagaimana DIA membinasakan dan menghancurkan mereka. Semua itu
tercantum dalam Al Quran dan sama sekali tidak ada
penyebutan kebaikan mereka; kerana tujuan utama adalah
agar kita mengambil pelajaran dan menjauhi apa yang
mereka lakukan terhadap Rasul mereka.
ALLAH Subhanahu wa Ta'ala mensifatkan orang-orang
Yahudi dan Nashara dengan sifat yang sangat buruk,
bahkan mengancam mereka dengan ancaman yang sangat
hebat dan sama sekali tidak menyebutkan kebaikan mereka
yang mereka runtuhkan kerana kekufuran dan pendustaan
mereka terhadap Nabi Muhammad ShallalLAHu 'alaihi
wa sallam.
Dan RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi wa sallam telah
pula men-tahdzir umatnya dari ahli ahwa` (bid’ah) tanpa
memperhatikan kebaikan yang ada pada mereka; kerana
kebaikan mereka sangat lemah, sedangkan bahaya
mereka jauh lebih hebat dan lebih besar dibandingkan
kemaslahatan yang diharapkan dari kebaikan mereka.”
Dari ‘Aisyah radhialLAHu 'anha, dia berkata: RasululLAH
ShallalLAHu 'alaihi wa sallam membaca ayat ini:
لْكِتاَبِ وَأُخَرُ مُتَشاَبِهاَتٌ فَأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ ماَ
هُوَ الَّذِي أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتاَبَ مِنْهُ آياَتٌ مُحْكَماَتٌ هُنَّ أُمُّ ا
وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ آمَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّناَ وَماَ
تَشاَبَهَ مِنْهُ ابْتِغآءَ الْفِتْنَةِ وَابْتِغآءَ تَأْوِيْلِهِ وَماَ يَعْلَمُ تَأْوِيْلَهُ إِلاَّ اللهُ
يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُو الأَلْباَبِ
“DIA-lah yang menurunkan Al-Kitab (Al Quran)
kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat
yang muhkamat (jelas) itulah pokok-pokok isi
Al Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyabihat
(samar). Adapun orang-orang yang dalam hatinya
condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti
sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari ta’wilnya.
Padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya
melainkan ALLAH. Dan orang-orang yang mendalam
ilmunya berkata: “Kami beriman kepada ayat-ayat
yang mutasyabihat, semuanya itu dari sisi Rabb kami.”
Dan tidak dapat mengambil pelajaran (darinya)
melainkan orang-orang yang berakal.” (Ali ‘Imran: 7)
Kata ‘Aisyah radhialLAHu 'anha: RasululLAH
ShallalLAHu 'alaihi wa sallam bersabda:
“Maka jika kamu melihat orang-orang yang mengikuti
apa yang mutasyabih dari Al-Quran, merekalah
yang disebut oleh ALLAH. Maka jauhilah mereka!”
(Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Dan kita maklum, bahwa ahli bid’ah itu tidak kosong
dari kebaikan. Namun RasululLAH ShallalLAHu
'alaihi wa sallam sama sekali tidak memperhatikannya
dan tidak menyebut-nyebutnya. Dan kita ketahui pula
bagaimana RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi wa sallam
membandingkan para shahabatnya dengan orang
-orang Khawarij:
مَعَ صِياَمِهِمْ وَعَمَلَكُمْ مَعَ عَمَلِهِمْ وَيَقْرَءُوْنَ الْقُرْآنَ لاَ يُجاَوِزُ
يَخْرُجُ فِيْكُمْ قَوْمٌ تَحْقِرُوْنَ صَلاَتَكُمْ مَعَ صَلاَتِهِمْ وَصِياَمَكُمْ
حَناَجِرَهُمْ يَمْرُقُوْنَ مِنَ الدِّيْنِ كَماَ يَمْرُقُ السَّهْمُ مِنَ الرَّمِيَّةِ
“Akan keluar di tengah-tengah kalian satu kaum
yang kalian meremehkan shalat kalian bila dibandingkan
dengan shalat mereka, puasa kalian dengan puasa mereka,
amalan kalian dengan amalan mereka. Mereka membaca
Al-Qur’an tapi tidak melewati tenggorokan mereka.
Mereka keluar dari agama ini seperti lepasnya anak
panah dari sasaran (*rujuk:13).”
(HR. Al-Bukhari dari Abu Sa’id Al-Khudri
radhiallahu 'anhu)
Telah kita ketahui pula bahwa RasululLAH ShallalLAHu
'alaihi wa sallam menamakan mereka sebagai anjing-anjing
neraka (*rujuk:14), seburuk-buruk bangkai yang terbunuh
di kolong langit. Ertinya, mereka (Khawarij) ini lebih
berbahaya bagi kaum Muslimin daripada selain mereka,
baik itu dari kalangan Yahudi maupun Nashara.
Mengapa demikian?
Jawabnya jelas, kerana mereka bersungguh-sungguh
berusaha membantai kaum Muslimin yang tidak
sejalan dengan mereka. Mereka halalkan darah dan
harta kaum Muslimin lainnya, bahkan nyawa anak
-anak kaum Muslimin (*rujuk:15). Mereka mengkafirkan
kaum Muslimin yang tidak sefaham dengan mereka,
dalam keadaan mereka menganggap semua itu adalah
ibadah untuk mendekatkan diri kepada ALLAH
Subhanahu wa Ta'ala, kerana parahnya kebodohan
dan kesesatan mereka...”
Saudara/ri seaqeedah filLAH,
Terakhir, janganlah kita terjerumus dalam kepalsuan
orang-orang Yahudi. Mereka berselisih dalam urusan
kitab mereka dan menyelisihi kitab tersebut, namun
mereka tampakkan kepada orang lain bahwa mereka
seakan-akan bersatu padu. Padahal ALLAH
Subhanahu wa Ta'ala telah membantah hal ini dalam
firman-NYA:
تَحْسَبُهُمْ جَمِيْعاً وَقُلُوْبُهُمْ شَتَّى
“Kamu kira mereka itu bersatu sedang hati mereka
berpecah belah.” (Al-Hasyr: 14)
Dan ingat, salah satu sebab mereka dilaknat oleh
ALLAH Subhanahu wa Ta'ala adalah sebagaimana
firman-NYA:
كَانُوْا لاَ يَتَناَهَوْنَ عَنْ مُنْكَرٍ فَعَلُوْهُ
“Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan
munkar yang mereka perbuat.” (Al-Maidah: 79)
Oleh kerana itu, apabila kita lihat ada orang yang
membantah pendapat atau pemikiran yang menyimpang
dari Al Quran dan As-Sunnah, baik dalam masalah fiqih,
atau pernyataan-pernyataan bid’ah lainnya, maka syukurilah
usaha yang dilakukannya sebatas kemampuannya itu.
Maka ambillah pelajaran, wahai orang-orang yang berakal.
WalLAHu a’lam.
Ma’raji Al fadhil ustadz:
1. Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahulLAH
dalam Kitab Al-Iman.
2. Hal-hal yang samar dan masih membutuhkan penjelasan
melalui ayat lain atau Sunnah RasululLAH ShallalLAHu 'alaihi
wa sallam. Wallahu A’lam, red.
3. Kekurangannya, seperti kelemahan hafalan
dan sebagainya. Wallahu A’lam.
4. Majmu’ Fatawa 28/231. Dan Mauqif Ahlus Sunnah
wal Jama’ah, Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
5. Majmu’ Fatawa 28/232. Dan lihat pembahasan
Hakekat Jarh wat Ta’dil.
6. Lihat kitab Mauqif Ahlis Sunnah wal Jama’ah
oleh Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
7. Syarh Shahih Muslim 2/22, secara ringkas.
8. Lihat Majmu’ Fatawa 28/230.
9. Ibnu Baththal berkata: “Al-Mudaaraah artinya
berlemah lembut dengan orang yang jahil dalam
mengajari, dan terkadang dengan orang yang fasiq
dalam melarang dari perbuatan jeleknya dan tidak
menyikapi keras... dan mengingkarinya dengan
ucapan serta perbuatan yang lembut, lebih-lebih
bila dibutuhkan untuk dilunakkan hatinya.”
(Fathul Bari, 10/258 dinukil dari Tuhfatul Ahyar,
hal. 96) (ed)
10. Syarh Shahih Muslim 16/144.
11. Lihat Majmu’ Fatawa Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahulLAH (28/230-231) dan
Mauqif Ahlus Sunnah wal Jama’ah oleh
Asy-Syaikh Ibrahim Ar-Ruhaili.
12. Manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi naqdir Rijal,
Asy-Syaikh Dr. Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali
hafizhahulLAH hal. 9.
13. Yaitu sebagaimana anak panah yang tepat mengenai
sasarannya kemudian menembusnya sampai lepas
darinya. (ed)
14. Sebagaimana dalam hadits Abi Umamah Shudai
bin ‘Ajlan yang dikeluarkan oleh Al-Imam
At-Tirmidzi rahimahulLAH dan beliau mengatakan
hasan. Juga dikeluarkan oleh Ibnu Majah rahimahulLAH
dalam Sunan-nya dari Ibnu Abi Aufa. Dishahihkan
oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahulLAH.
15. Sebagaimana dialami oleh Abdullah bin Khabbab
bin Al-Art, ia dan isterinya yang hamil tua dibunuh
oleh orang-orang Khawarij, kemudian anaknya yang
ada di dalam perut isterinya dikorek dan dibunuh.
Inna lillahi wa innaa ilaihi raji’un.
p/s: Do'akan kesejahteraan dan kejayaan UMMAH & ISLAM!